Kata pro, sering kita dengar dari para remaja yang sibuk bermain game. Semakin hebat dan tangguh dalam bermain game dan membunuh musuh-musuhnya, pemain tersebut dibilang pro. Entah, apakah pro yang dimaksudkan profesional atau pro dengan maksud lain. Dalam game, lawan kata pro adalah Noob, atau nubie yang artinya amatiran atau pemain baru.
Beda lagi pemahaman kata pro digunakan dalam dunia politik. Pro seringkali di maknai lebih memihak satu golongan tertentu atau mendukung satu calon tertentu. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pro diartikan lebih.
Sering juga kita dengar awalan pro, identik dengan kehandalan sebuah profesi kerja. Misalnya profesional, yang diartikan orang yang menekuni bidang pekerjaan tertentu dan handal dibidang tersebut. Selain sudah memiliki pengalaman yang cukup banyak, keahliannya pun sudah tidak diragukan lagi.
Kata pro, seakan membagi kelas antara yang memiliki skill tinggi dengan mereka yang baru saja menekuni bidang tertentu. Kenyataannya, dalam kehidupan sosial bidang pekerjaan terbagi dalam kelas sosial. Para tukang becak yang sudah 10 tahun menekuni bidang pekerjaannya, tetap saja lebih tinggi tukang bangunan yang baru dua tahun menekuni pekerjaannya. Meski sama-sama tukang, kerja tukang bangunan lebih sulit daripada tukang beca.
Namun, kadang kala kita lupa bahwa bidang pekerjaan apapun bentuknya adalah profesi yang keberdaannya harus dihormati. Baru-baru ini, sedang viral di media sosial bagaimana seorang satpam yang dengan percaya diri mengantar putrinya wisuda. Media sosial ramai memposting foto-foto dengan berbagai komentar pro dan kontra.
Sang ayah dengan percaya diri, menggunakan seragam lengkap menemani putrinya. Apa yang salah dengan sang ayah? Hinakah pekerjaan satpam hingga dianggap tidak pantas untuk menemani putri kandungnya diwisuda?
Kelatahan media sosial ini disambut baik oleh salah satu media online dengan traffic tinggi di Indonesia. Tanpa sadar pula, media massa yang seharusnya profesional dalam bidangnya dengan puluhan tahun malang melintang memberi informasi pada masyarakat, kini harus terjebak dalam kamuflase indahnya hoax, yang memang berujung semakin populernya pembaca media tersebut.
Apakah mereka yang berprofesi satpam identik dengan kemiskinan? Hingga dianggap tidak layak berada dalam lingkaran strata lingkungan sekolah atau kampus yang memiliki pengetahuan tinggi? Harusnya kita semua menyadari, jumlah penghasilan sang Satpam hingga mampu membayar kuliah putrinya. Berapa banyak tukang becak yang hidup berkecukupan dan memiliki putra-putri yang sehat, bersekolah, bahkan telah bergelar S2 dan S3.
Profesi bukanlah jaminan berapa banyak harta yang dimilikinya, sebab tidak sedikit orang yang kelihatan kaya tetapi sangat miskin karena hutangnya bertumpuk di Bank, berapa banyak cicilan yang harus dibayar setiap bulan. Sedangkan bapak Satpam, abang becak, dan profesional lainnya tertawa lepas bersama keluarganya tanpa beban. Marilah kita koreksi diri, memandang dalam-dalam diri kita dimuka cermin. Sudah pantaskah kita? Wallahu ‘alam.