Foto(Ist): Patung Ibnu Khaldun di Avenue Habib Bourguiba, Tunisia.
Lentera-PENDIDIKAN.com, Selama ini kita mengenal Aguste Comte (1798-1857) sebagai bapak ilmu sosiologi. Peletak dasar pemahaman sosiologi lewat prinsip positivisme, yang menjadi dasar yang digunakan oleh akademisi saat ini yaitu pengaplikasian metode ilmiah dan ilmu sosial sebagai sarana dalam memperoleh kebenaran. Namun, jauh sebelum Comte lahir. Ibnu Khaldun lewat karya besarnya Al Mukhaddimah, 300 tahun sebelumnya, telah meletakkan dasar-dasar ilmu sosialogi yang hingga kini diakui para akademisi dunia.
Nama asli Ibn Khaldun adalah Waliyuddin Abd Rahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Abi Bakr Muhammad ibn Al-Hasan ibn Khaldun. Lahir di Tunisia di awal bulan Ramadhan 732 H (27 Mei 1332 M) dan wafat di Kairo Mesir pada tanggal 25 Ramadhan 808 H (19 Maret 1406 M). Nama Ibn Khaldun sendiri dinisbatkan kepada kakeknya yang ke sembilan yaitu Khalid bin Ustman.
Keluarga Ibn Khaldun berasal dari Hadramaut dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat Nabi bernama Wayl Hujr dari kabilah Kindah. Salah seorang cucu Wayl yaitu Khalid bin Utsman memasuki wilayah Andalusia bersama-sama orang Arab penakluk wilayah bagian selatan Spanyol di awal abad ke-3 H (9 M). Keluarga Khalid ini kemudian terkenal dengan sebutan khaldun sebagai bentuk kebiasaan yang berlaku di Andalusia dan wilayah barat Laut Afrika yaitu penambahan kata “un” sebagai bentuk penghargaan kepada keluarga penyandangnya. Hingga khalid menjadi khaldun.
Keluarga Khaldun pertama kali tinggal di kota Qarmunah di Andalusia sebelum kemudian mereka pindah ke kota Isybilia (Seville). Dikota terakhir ini anggota bani Khaldun menduduki jabatan-jabatan penting. Ketika Dinasti Al-Muwahhidun mengalami kemunduran di Andalusia, Bani Hafs penguasa Isbylia hijrah ke Tunisia karena daerah kekuasaanya jatuh ketangan penguasa Kristen. Bani Khaldunpun ikut hijrah kesana. Abi Bakr menjadi Gubernur di Tunisia dan anaknya Muhammad bin Abi Bakr menjadi Menteri Kehakiman. Walau kemudian Bani Hafs jatuh ketangan Al-Muwahhidun tetapi kakek Ibn Khaldun yaitu Amir Abu Yahya al-Lihyani tetap menduduki jabatan penting. Walau demikian, anaknya yaitu Ayah Ibn Khaldun tidak terjun kedunia Politik tetapi cenderung memasuki dunia pendidikan. Hal inilah yang mempengaruhi perkembangan keilmuan Ibn Khaldun dimana guru pertama kali adalah ayahnya sendiri. Sebagaimana diketahui, dengan kegiatannya di bidang pendidikan membuat ia mempunyai waktu untuk mendidik putra kesayangannya.
Guru pertama Ibn Khaldun adalah ayahnya sendiri. Beliau belajar membaca Al-Qur’an serta menghafalnya. Karena kecerdasan dan ketekunannya, tidak heran jika pada umur 7 tahun beliau telah hafal Al-Qur’an. Disamping belajar pada ayahnya sendiri, Ibn Khaldun juga mendapat kesempatan belajar kepada para ‘ulama dalam banyak ilmu seperti Tafsir, Hadist, ushul fiqh, Tauhid, dan fiqh madzhab Maliki. Karena pada masa tersebut Tunisia menjadi pusat hijrahnya para Ulama dan Ilmuwan dari Andalusia karena kekacauan akibat perebuatan kekuasaan disana, sehingga Ibn Khaldun berkesempatan menimba Ilmu pada mereka. Disamping itu beliaupun belajar ilmu-ilmu bahasa: Balaghah, nahwu, sharaf,serta ilmu alam seperti Matematika dan Fisika. Dalam semua bidang studi ia mendapatkan nilai memuaskan dari para gurunya. Komunikasi yang dijalinnya dengan Ulama dan tokoh-tokoh terkenal banyak membantunya dikemudian hari dalam mencapai jabatan-jabatan dinegeri itu.
Akan tetapi kegairahannya dalam menuntut ilmu terhenti akibat berkembangnya dan menyebarnya penyakit pes di bagian belahan dunia termasuk Tunisia pada tahun 749 H, dimana penyakit ini telah banyak merenggut nyawa termasuk Ayah dan Ibu Ibn Khaldun sendiri juga beberapa Ulama tempat Ibn Khaldun menggali Ilmu. Akibat dari mewabahnya penyakit ini pula banyak dari mereka yang masih selamat mengungsi ke Afrika barat (Maghrib) laut termasuk para Ulama tempat Ibn Khaldun belajar. Sehingga beliau mengalihkan perhatiannya pada upaya mendapatkan tempat dalam pemerintahan dan ikut dalam percaturan politik.
Pada saat itu peta politik di Afrika Utara dan Andalusia sedang digoncang oleh peperangan. Dinasti al-Muwahhidun sejak permulaan abad 5H telah mendekati masa kehancuran. Dari dinasti besar tersebut muncul Negara-negara kecil dengan wilayah kekuasaan yang banyak jumlahnya. Tiga diantara yang terkenal adalah; Dinasti bani Hafs di Maghrib dekat dengan wilayah Tunisia. Dinasti bani ‘Abd al-wad di Maghrib tengah dengan ibu kotanya Tilimsan. Dinasti bani Marin di maghrib jauh atau Maroko sekarang.
Ibn Khaldun meniti karirnya dalam dunia politik dan pemerintahan di kawasan Afrika Barat laut dan Andalusia selama hampit seperempat abad . dalam kurun waktu itu lebih dari sepuluh kali ia berpindah jabatan dan seringkali bereser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain dan dari satu penguasa ke penguasa yang lain dari dinasti yang sama. Dalam usia 21 tahun (751 H) beliau diangkat menjadi sekretaris Sultan Daulah Bani Hafs, al-Fadl yang berkuasa di Tunisia. Ini adalah jabatanya yang pertama dalam pemerintahan. Akan tetapi ia berhenti dari jabatannya karena penguasa yang didukungnya kalah dalam sebuah pertempuran pada tahun 753 H, dan beliaupun terdampar di Baskarah, sebuah kota di Aljazair Maghrib tengah yang dikuasai oleh Bani Marin. Disana beliau berusaha menarik perhatian pemimpin Bani Marin, Sultan Abu ‘Anan. Pada tahun 755 H beliau diangkat menjadi anggota Majelis Ilmu Pengetahuan dan setahun kemudian diangkat menjadi Sekretaris Sulthan yang bertugas mencatat semua keputusan Sultan terhadap permohonan-permohonan dari rakyat, dan juga dokumen-dokumen lain yang diajukan kepada Sultan.
Dengan diselingi 2 tahun pemenjaraanya karena dituduh bersekongkol untuk melepaskan Pangeran Abu Abdullah dari Bani Hafs yang menjadi tahanan pengasingan Bani Marin dengan harapan mendapatkan tempat menjadi Perdana Menteri jika Bani Hafs kembali berkuasa, Ibn Khaldun memegang jabatanya hingga tahun 763 H.
Pada tahun 764 H ‘Umar bin ‘Abdillah, Perdana Menteri yang menjabat di Bani Marin pada saat itu murka padanya dan memerintahkannya pergi. Semula ia hendak pergi ke Tunisia mengabdikan diri pada Bani Hafs yang telah berdiri kembali, tetapi maksudnya dihalangi oleh pemerintah Bani Marin karena ditakutkan pengetahuan Ibn Khaldun yang luas tentang politik akan dimanfaatkan oleh Bani Hafs. Akhirnya Ibn Khaldun meninggalkan fez pergi ke Granada Andalusia(Spanyol).
Kedatangan Ibn Khaldun di Andalusia disambut hangat oleh pemimpin di Andalusia pada saat itu yaitu Sultan Muhammad yang dibantu Perdana Menterinya Ibn Khatib. Hal ini maklum karena antara Ibn Khaldun dan Sultan telah terjalin persahabatan ketika Sultan menjalani pengasingan di Fez. Dan sebagai balas budi dari kebaikan Ibn Khaldun, Sultan Muhammad memberi kepercayaan padanya sebagai utusan khusus atau duta besar untuk menyelesaikan masalah dengan Negara tetangga. Tetapi tidak lama kemudian timbul ketegangan antara Ibn Khaldun dan perdana Menteri Ibn Khatib karena kecemburuan dan ketakutannya karena semakin dekatnya Ibn Khaldun dengan Sultan.
Dua setengah tahun berada di Andalusia ia mendapat undangan dari Pangeran Abu ‘Abdullah Muhammad, yang dulu pernah sama-sama dipenjaran di Fez. Kini Pangeran Abu ‘Abdullah telah berhasil merebut kembali kedudukannya di keamiran Buqi, wilayah Tunisia, dan Ibn Khaldun di undang untuk diangkat menjadi Perdana Menteri. Ibn Khaldun sangat gembira dan diapun menyambutnya. Selain menjadi Perdana Menteri, Ibnu Khaldun juga berperan sebagai khatib dan Guru. Tetapi jabatan tersebut hanya berlangsung 1 tahun karena keamiran Buqi (Bijayah) jatuh ketangan Sultan Abu al-‘Abbas Ahmad, Gubernur Qasanthinah (konstantin) dan juga saudara sepupu Pangeran Abu Abdullah Muhammad.
Dibawah kekuasaan Sultan Abu al-‘Abbas ini Ibn Khaldun kembali diangkat menjadi Perdana Menteri. Akan tetapi Sultan Abu al-‘Abbas menyangsikan loyalitas Ibn Khaldun karena kemudahannya “berpaling”. Sadar akan hal ini, Ibn Khaldun meminta izin untuk pergi meninggalkan Buqi menuju Biskra (Baskarah). Tetapi Sultan memerintahkan untuk menangkap Ibn Khaldun, beruntung ia bisa meloloskan diri dan sampai ke Biskra.
Dari biskra ia berkirim surat dengan berjanji untuk memberikan dukungan kepada Abu Hammu, Sultan Tilimsan dari Bani Abd al-Wad juga menantu Pangeran Abu ‘Abdullah yang terbunuh di Buqi (Bijayah). Sultan kemudian bukan saja menyambut janji Ibn Khaldun tetapi menawarkan jabatan sebagai perdana Menteri, tetapi Ibn Khaldun menolaknya tetapi bersedia berkampanye mendukung Abu Hammu. Tetapi Bani Abd al-Wad berhasil di kuasai oleh Sultan Abdul ‘Azis dari bani Marin yang berpusat di Fez. Dan Ibn Khaldun pun berpihak pada Sultan Abdul ‘Azis. Namun hanya dalam waktu singkat Tilimsan kembali bisa direbut oleh Abu Hammu.
Ibn Khaldun untuk kedua kalinya pergi ke Andalusia sebagai bentuk penyelamat diri dari Abu Hammu di Tilimsan dan Pemerintahan di Fez. Tetapi di Granada ia tidak lama menetap karena Abu Ahmar, pemimpin di Andalusia pada saat itu mengusirnya agar kembali ke Afrika Barat Laut sebagai bentuk dari permintaan Pemerintahan Fez.
Beruntung berkat bantuan teman sahabat lamanya, Muhammad bin Arif, tokoh dari Bani ‘Arif, akhirnya Ibn Khaldun diterima kembali oleh Abu Hammu. Sesampainya di Tilimsan ia berjanji pada diri sendiri untuk tidak lagi terjun pada dunia politik, akhirnya ia mengasingkan diri dan menyepi di Qal’at (benteng) Salamah dan menetap disana hingga 780 H (1378M). Disinilah Ibn Khaldun berhasil mengarang kitabnya yang fenomenal yaitu “Kitab al-‘ibar wa diwan al-mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa min ‘Ashirihim min Dzaw al-Sulthan al-Akbar yang disingkat Kitab al-‘Ibar. Buku ini terdiri dari tujuh jilid besar yang berisi kajian sejarah. Akan tetapi buku yang terkenal hingga saat ini adalah jilid pertama yang dinamakan Muqaddimah yang diselesaikannya dalam waktu lima bulan.
Pada tahun 780 H (1378 M) ia kembali ke Tunisia untuk merevisi kitabnya yang ditulis di Qal’at di tengah-tengah Bani ‘Arif. Salah satu dari kitabnya itu kemudian ia persembahkan kepada Sultan Tunisia, Abu Abbas Ahmad.
Setelah mengikuti ekspedisi militer bersama Sultan Abu Abbas, Ibn Khaldun yang sudah jemu dengan politik meminta izin untuk melaksanakan Haji. Pada tahun 784 H (1382 M) ia pergi ke Alexandria, Mesir. Para Ulama dan orang-orang mesir menyambut dengan antusias kedatangan Ibn Khaldun karena berita tentang Ibn Khaldun telah menyebar luas disana, sehingga belum dua tahun ia berada di Kairo dia diangkat sebagai Dosen Fiqh madzhab Maliki di lembaga pendidikan Qamhiyyah. Dan beberapa bulan kemudian ia diangkat menggantikan Syaikh Jamaluddin A.R bin Sulaiman bin Khair Maliki menjadi Hakim Agung madzhab Maliki.
Tetapi baru satu tahun ia memegang jabatan tersebut ia dipecat akibat fitnah dari orang-orang yang merasa iri denganya. Ia kemudian diangkat menjadi Dosen dibeberapa Madrasah termasuk di Khangah Beibers, semacam Tarekat. Pada tahun 789H ia baru menunaikan Haji sebagaimana janjinya pada Sultan Abbas di Tunis. Sekembalinya dari tanah suci ia kemudian diangkat lagi menduduki jabatan Hakim Agung, tetapi tiga bulan kemudian ia mengundurkan diri. Pada tahun 803 Hijriyah, dia ikut menemani Sultan ke Damaskus dengan satu pasukan untuk bertahan dari serangan Timur Lenk. Setelah kembali dari ke Kairo, ia kembali ditunjuk menjadi Hakim Agung hingga akhir hayatnya.
Disamping karya beliau al-‘Ibar yang berjumlah tujuh jilid, terdapat karya Ibn Khaldun yang lain yaitu Al-Ta’rif yang semula merupakan lampiran dari kitab al-‘Ibar, tetapi kemudian ketika di Kairo di perbaiki lagi dan dijadikan buku tersendiri. Sedang buku al-‘Ibar sendiri beliau sempurnakan dan disiapkan dua naskah yang satu dipersembahkan kepada Sultan Mesir, Dzahir Barquq, dan satu lagi dipersembahkan kepada Sultan Abdul Aziz di Fez, Tunisia. (Dari berbagai sumber).