Foto(Reza): Komunitas Sedekah Sehari Seribu (S3) Chapter berikan bantuan kepada keluarga Sistriana.
Lentera-PENDIDIKAN.com,MUARAENIM-Rumahnya ukuran 4 x 6 meter terbuat dari kayu, berdinding papan, beratapkan daun Serdang dan sebagian masih beralaskan tanah, sehingga lebih pantas dikatakan gubuk reot. Didalam rumahnya tidak ada satupun peralatan elektronik maupun barang berharga lainnya, hanya ada satu lemari kayu dan lemari plastik yang sudah tua. Jika malam tiba, penerangan satu-satunya hanya sebuah lampu teplok sebab tidak ada meteran listrik dirumahnya. Bahkan didapurnya, tidak ada kompor sama sekali hanya ada tungku dan beberapa perabotan terbuat dari plastik dan almunium. Hanya ada satu dipan terbuat dari papan, tanpa tikar apalagi kasur.
Dan lebih prihatin lagi, jika hari hujan maka penghuni rumah terpaksa mengungsi ke rumah tetangga sebab sebagian atap rumah sudah bolong dimakan usia sehingga ketika hujan air masuk ke dalam rumah. Janda enam anak, Sistriana (39) warga Kampung VII, Desa Penanggiran, Kecamatan Ujan Mas, Kabupaten Muaraenim, harus benar-benar tegar menjalani hidup. Sebab semenjak ditinggal suaminya almarhum Amir Hamzah (40) sekitar 1,5 bulan yang lalu, praktis seluruh pekerjaan (serabutan) terpaksa dijalaninya untuk demi menghidupi anak-anaknya.
"Pesan suami saya, jika ia meninggal jangan pulang ke Pagar Alam, tapi tetap menunggu rumah bersama anak-anaknya," kenang Sistriana yang baru selesai 40 hari suaminya, Senin (17/2/2020).
Menurut Sistriana, bahwa dirinya asli dari Pagar Alam, setelah menikah ke Desa Penanggiran karena ikut suami. Dari hasil perkawinannya, ia mendapatkan enam orang anak, yakni Asi Yunika (21), Arti Yunimas (18), Ahmad Nopremli (16), Almarhum Apan Juliadi (13), Arlido Pebron (11) dan Aradi (3). Anaknya yang sulung sudah menikah ikut dengan suaminya, sedangkan anaknya yang bungsu ikut neneknya di Pagar Alam. Jadi hanya empat anak yang ikut tinggal dengannya yakni Arti Yunimas sudah putus sekolah karena tidak ada biaya, Ahmad Nopremli dan Arlido Pebron masih sekolah namun saat ini kesulitan biaya.
"Rumah saya itu tanahnya masih numpang. Saya minta bantuan kalau ada yang bisa membelikan tanah untuk berteduh anak-anak saya, sebab saya tidak ada uang untuk makan saja kerja serabutan. Terimakasih kepada masyarakat yang telah membantu kami," harapnya.
Sementara itu Ketua Komunitas Sedekah Sehari Seribu (S3) Chapter Muaraenim Sangkut didampingi Sekretaris Oka Levi Utami dan anggota lainnya mengatakan bahwa pihaknya mendapat informasi jika ada warga yang tidak mampu dan kondisinya memprihatinkan. Kemudian pihaknya langsung mengecek ke lokasi, dan ternyata informasi tersebut benar dan sangat memprihatinkan dan perlu bantuan serta uluran dari intansi terkait dan masyarakat. Dan jika ada para dermawan untuk bisa memberinya tanah untuk tempat tinggal seadanya sehingga tidak menumpang lagi ditanah orang lain.
"Komunitas kami spontan patungan mengumpulkan bantuan semampu kami. Kami minta ada perhatian dan bantuannya dari semua pihak. Kami juga kasihan bagaimana makan sehari-seharinya," katanya.
Masih dikatakan Sangkut, komunitas S3 ini, di Muaraenim baru terbentuk tanggal 29 September 2019 yang lalu, dengan program Kerja Bansos yakni penyaluraan donasi untuk warga yang tidak mampu, Panti Asuhan, Blusukan Warga Tidak Mampu, Korban Bencana Alam dan lain-lain. Kegiatan lain adalah keakraban sesama anggota itu tiga bulan sekali. Nanti juga akan ada agenda even tahunan S3. Untuk kegiatan kita yang sudah terealisasi yakni Anjangsana ke panti asuhan Asaadah, Belusukan warga yang kurang mampu, warga terkena musibah banjir bandang di Mulak Sembikai, dan membantu nenek-nenek yang terlantar dipasar.
"Kami minta kepada pemerintah terkait untuk lebih peduli kepada warga yang tidak mampu," jelasnya.