Politik elitis & problem oligarkhi: Diskursus pemerintahan lokal
Kamis, 20 Des 2018 11:30 | 3994
OPINI
Foto(Ist): Haekal Al-Haffafah, Direktur Pusat Studi Politik dan Pembangunan Teras Indonesia.
Politik elitis & problem oligarkhi: Diskursus pemerintahan lokal
Oleh:
Haekal Al-Haffafah (Direktur Pusat Studi Politik dan Pembangunan Teras Indonesia)
Sudah menjadi dalil pemikiran politik bahwa kekuasaan dalam masyarakat dibagikan secara tidak merata. Problem kekuasaan ini menjadi masalah fundamen, Siapa yang memerintah? Siapa yang seharusnya memerintah? Pertanyaan ini kadangkala muncul, namun ulasannya seringkali tidak mendalam dan kabur.
Dinamika politik kita belum menjadi model bahwa politik harus berada diposisi yang terhormat. Kompetisi politik baru diterjemahkan terbatas pada hasil survei, alokasi dan kebijakan anggaran seringkali harus tersandera menjelang momen pilkada. Masyarakat kemudian digiring pragmatis dengan meyakini bahwa pembangunan cukuplah berhenti dikotak suara atau meyakini bahwa masalah bisa selesai dengan bagi-bagi uaang. Masyarakat demikian pada gilirinya akan menyuburkan oligarki (model pemerintahan yang dikendalikan segilintir elit) corak pemerintahan yang terbangun adalah model rent seeking (pemburu rente) sebuah pemerintahan yang dikendalikan oleh elit negara dan korporasi swasta.
Literatur yang pernah ditulis oleh Robison dan Hadiz, Reorganising Power: The Politics of Oligarchy in the Age of Markets, mengemukakan bagaimana sumber daya material menjadi basis kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Robinson dan Hadiz juga menggambarkan kekuatan-kekuatan yang menjadi lingkar inti kekuasaan di Indonesia, yang mendominasi struktur ekonomi dan struktur politik Indonesia pasca-Orde Baru. Dalam tulisan lainnya Richard Robinson “Indonesia: Crisis, Oligarchy and Roform” menceritakan dengan lugas bagaimana pemerintahan Orde Baru adalah satu contoh terbaik dari rezim model oligarki. Kapitalisme negara menjadi pusat bagi pembentukan oligarki, hal ini dicirikan dengan tumbuhnya kekuatan perusahaan konglomerasi dan bisnis keluraga dibawah kebijakan nasional Negara. Robinson menyebut Rezim Orde Baru menemukan bentuknya yang sempurna pada tahun 1986 sampai berakhir kejatuhannya 1998.
Oligarki politik menemukan wajahnya yang baru, dalam politik kontemporer. Pemilihan kepala daerah lewat rezim Pilkada melahirkan model oligraki baru yakni oligarki lokal, AE Priyono menggambarkan secara kritis dalam diskusi oleh MAP Corner Tahun 2017. Tiga elemen normatif dalam demokrasi. Pertama partispasi rakyat, kedua kompetisi politik dan ketiga kontrol publik. Namun, dalam pelaksanaannya demokrasi hanya dilihat sebagai kompetisi politik semata oleh para elit, sementara partisipasi dan kontrol publik disampingkan dalam proses berdemokrasi.
Mengakhiri Politik Elitis
Satu watak dari oligarkhi adalah elitisme, sementara teoritisi elit klasik seperti Vilfrado dan Pareto meyakini watak dari kaum elite, umumnya membagi kekuasaan menjadi dua, pertama mereka yang memiliki kekuasaan politik dan mereke yang tidak, distribusi kekuasaan dipandang dalam artian dikotomis itu. Kedua kaum elite pada hakikatnya bersifat otonom, kebal akan gugatan, semua persoalan diselesaikan menurut kepentingan segilintir elit. Potret yang selanjutnya dillukiskan dalam karakteristik kaum elite adalah suatu kasta yang terisolir dari masyarakat, yang dengan lihai mendominasi masyarakat yang papa.
Model elitis ini menjadi gejala hampir disemua lapisan kekuasaan politik. Hal yang paling jelas misalnya dalam menentukan calon-calon legislatif mesti sesuai dengan selera ketua umum. Menyusun strukur internal partai dengan menyingkirkan kubu-kubu yang kontra, menyusun birokrasi dengan memasukan orang-orang yang kompromistis, mengganti struktur-struktur strategis di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan menunjuk ketua tim pemenangan menjadi komisaris. Hal lain misalnya, mendorong siapapun untuk menduduki posisi strategis ditingkat organisasai plat merah guna mempersiapkan kemenangan kembali pada Pilkada atau Pemilu berikutnya.
Ditingkat daerah, seorang kepala daerah menyiapkan anaknya menjadi anggota DPRD, kemudian menyiapkan panggung dengan menjadikan anaknya sebagai ketua KNPI, sampai pada waktunya menyiapkan perahu partai guna mendorong anaknya melanjutkan kepemimpinan sebagai kepala daerah. Sepintas taka ada masalah, Pola ini lazim ditemui ditingkat politik lokal dan selanjutnya menjelma menjadi oligarki lokal (rezim yang dikelilingi oleh elit keluarga dan kolega). Ditingkat inilah sebetulnya ada problem mendasar rakyat hanya diberikan space terbatas untuk mennetukan calon pemimpin penyeleksian dilakukan secara elitis dan tertutup oleh elit partai, distribusi kesejahteraan lewat kebijakan dengan menentuakn kue anggaranpun sepenuhnya menjadi milik lingkaran oligarkhi, sementara rakyat dibutuhkan legitimasinya hanya saat pilkada atau pemilu saja. Pola ini berputar begitu seterusnya, jika perlu semua kursi legislatif diborong untuk anak, istri, kawan dan kolega.
Diskursus diatas telah lama menjadi problem mendasar yang melatari sejarah demokrasi klasik di Athena, sebuah penolakan untuk meninggalkan model pemerintahan monarki yang diktatorship, koruptif dan dinilai hanya mengungtungkan lingkaran kerajaan. Pemikiran politik tentang “Negara Kota” atau polis adalah Peradaban yang melahirkan pandangan masyarakat bahwa kediktatoran adalah model pemerintahan yang terburuk.
Dalam beberapa kasus, praktek-praktek korupsi yang menyebabkan banyak kepala daerah menjadi tersangka adalah bentuk paling nyata yang menunjukan indikasi kuatnya oligarkhi lokal. Konteks ini kemudian menunjukan bagaimana otoritarian lokal memainkan peranannya dilevel daerah. Wataknya otoriter, wajahnya demokratis, sifat aslinya oligarki.
Publik sudah mengerti, bahwa betul secara prosedural sistemnya telah demokratis tapi polanya masih sama elitis dan otoritarian (kadarnya saja yang berubah). Dalam Pemilu, Pileg dan Pilkada kedepan, kita berharap bahwa politik elitis dan elitisi-elitisi parpol akan bertumbangan dan digantikan dengan tokoh baru dari kalangan profesional, akademisi, ilmuwan, kelompok penekan atau mereka yang seharusnya lahir dari arus bawah.(*)