Lentera-PENDIDIKAN.com-Peristiwa politik di kota Palembang kian memanas, perseteruan antara para pendukung calon Bupati-Wakil Bupati, Wali Kota-Wakil Walikota, Gubernur-Wakil Gubernur memanaskan atmosfer hati warga Palembang. Bagaimana tidak, mesin politik seakan menjadi kompor yang memang memicu panasnya para pendukung-atau kontra pendukung calon satu dengan lainnya. Aksi demonstrasi yang “sengaja” atau “tanpa sadar”, menyindir atau tidak berniat menyindir terus berkecamuk.
Bicara politik dan dukungan, menyebar mulai dari hotel, restoran, café, warung kopi, sampai warung emperan berlanjut tanpa memahami, siapa yang bakal menang atau kalah pada pemilu serentak 27 juni akan datang. Persepsi terhadap calon, disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat. Sebagian hanya menggunakan rasa simpatiknya, karena sang calon pernah satu kali datang ke acara pernikahan warganya. Bagaimana sang calon kepala daerah, sangat baik, simpatik, menegur dan bersalaman pada seluruh masyarakat. Calon itu sudah datang setahun yang lalu. Apa yang terucap? Sungguh diluar dugaan.
“Si Anu orangnya baik dan perhatian pada kita. Kalau dia jadi kepala daerah, saya yakin Lorong kita yang selama ini becek kalu hujan, bakalan mulus. Kita-kita sebagian tukang becak ini, bakal di beri keringanan kredit becak, atau bentor. Sungguh, pemimpin yang baik dan memperhatikan rakyat,” katanya.
Masih di kampung yang sama, mereka yang tamatan SMA sederajat sedikit memahami politik. Yang ada difikiran mereka justru berbanding terbalik. Banyak yang kemudian bicara sinis pada seluruh calon.
“Apaan baik, pas ada “kendak” mau nyalon rela datang. Kalau sudah terpilih, noleh saja kepalanya berat. Apalagi mau perhatian. Coba ingat, lima tahun yang lewat, sia Anu itu janjinya macam-macam. Sampai sekarang, jangankan bantuan modal, jalan saja tidak pernah dibangunkan,” katanya.
Obrolan sedikit menjadi Panjang.
“Eh, kemaren kan satu suara Rp100ribu lho. Siapa tahu tahun ini nanti ada tambahan duit sama sembako. Sudahlah, pilih yang ngasih duit sama sembako. Terus lupakan,” jelasnya.
Hanya sebagian kecil warga setempat yang memiliki Pendidikan tinggi. Dua orang lulusan sarjana universitas negeri di Palembang, dan satu orang lainnya adalah dosen lulusan S2 dari luar kota. Ketiga orang ini justru bertengkar hal lain, dan bukan mendukung para calon.
“Kalau saya, asalkan calon itu menang pasti saya dukung. Program kerja mereka sih, sama saja. Tidak ada yang realistis. Mustahil, dan tidak akan bisa di capai hanya dalam waktu 5 tahun. Sudahlah, dengan dana APBD sekian, mau mencapai mimpi ini-itu. Tragis bro!, kata lulusan S2.
“Kalau saya sih, berfikirnya bagaimana nanti calon ini bisa memberikan kesejahteraan bagi warga Palembang secara keseluruhan. Bisa dapat pinjaman modal. Kan kami juga nanti yang bakal dapat keuntungan. Bukannya dapat duit Rp100-Rp200 ribu itu. Mahap lah, kalau duit segitu bisa beli hak pilih kita,” kata tamatan S1.
Bagaimana dengan para pemilih pemula, yang tahun ini mereka berusia 17 tahun. Secara emosional mereka sedang lincah-lincahnya, tidak lepas dari keceriaan dan semangat yang membara. Apa yang terucap?
“Politik itu kejam, politik itu hanya tipu-menipu. Sudahlah, mari kita hidup dan mencapai mimpi untuk masa depan lebih baik. Mari golput, biarkan golput menang. Jangan ajak kami masuk dalam ranah politik, dan kami tidak ingin dipolitisasi,” kata mereka tidak perduli.
Semua komentar di atas hanyalah sebagian kesan dari suara-suara arus bawah yang mungkin tendensius, dan tidak perlu diperdebatkan. Karena masing-masing, tidak akan mungkin mau mempertanggungjawabkan komentarnya. Suara tersebut juga banyak terlihat di berbagai akun media sosial, tanpa jelas tujuannya. Yang ada sekedar posting, komentar, dan sekedar mengisi percakapan kosong.
Adakah nanti kesadaran untuk memahami keterwakilan politik? Mungkin nanti hanya terbukti pada saat pilkada serentak. Berapa banyak warga Palembang yang mencoblos? Golput? Salah coblos? Dan lainnya. Kita berharap, demokrasi tercipta dengan bersih lewat pemilu yang jurdil. (Muhammad_Uzair)