Dua tahun tidak terasa, wabah covid-19 belum juga reda. Mobil ambulance masih terus terdengar melintasi jalanan ibu kota. Laporan tentang wabah yang menyerang pernafasan manusia itu, seakan meluas dan belum juga dapat di taklukkan oleh obat-obat modern, atau upaya tradisional lewat karantina.
Covid-19 seakan benar-benar mengancam tubuh-tubuh manusia yang lemah dan takut. Meski Sebagian besar dari kita, hampir tidak merasakannya. Kehidupan terus berlanjut, jalanan masih terus ramai, dan kegiatan di pasar-pasar tradisonal tetap tak kuasa mengatasi perkumpulan masyarakat yang berinteraksi saling bertukar kebutuhan pokok.
Kenyataannya, rumah sakit masih terus disibukkan aktifitas untuk mengatasi penyakit yang sudah banyak merenggut nyawa manusia tersebut. Kuburan khusus pengidap covid-19 terus bertambah. Meski akhir-akhir ini varian covid-19 telah berubah, atau mungkin lebih berbahaya lagi.
Lockdown yang dilakukan pemerintah satu bulan terakhir menjelang idhul fitri 1442 Hijriyah, bukan tidak ada alasan yang tepat. Perhitungan ini dilakukan mengingat pentingnya Kesehatan masyarakat, dan nyawa manusia. Bukan pula mengindahkan keyakinan pada Tuhan, lantaran rumah ibadah masih terus melaksanakan upacara keagamaan.
Pemerintah juga seupaya mungkin sudah melakukan imunisasi kepada ribuan orang warga, agar mereka lebih kebal terhadap virus tersebut.
Sebenarnya,kalua kita berfikir ulang.Banyak hal yang positif yang dapat kita ambil dan renungkan dari bencana ini. Kehidupan di Ibu Kota Palembang yang sangat sibuk, hampir Sebagian besar dari kita melupakan pentingnya kebersamaan dengan keluarga. Lantaran lockdown, Sebagian kita “terpaksa” berkumpul dengan keluarga di rumah.
Karena lockdown dan ada larangan beribadah di rumah-rumah ibadah, Sebagian dari kita juga mulai memimpin upacara keagamaan di rumah. Yang selama ini tidak pernah menjadi imam atas isteri dan anak-anaknya, kini membiasakan diri menjadi imam shalat 5 waktu. Atau menjadi pemimpin doa tetap setiap hari bagi yang beragama Kristen.
Ada dari kita yang meragukan penyakit covid-19 ini. Karena selama penyakit ini terjadi, mereka Bersama keluarganya tidak pernah merasakan tanda-tanda yang dialami oleh mereka yang pernah terkena covid-19. Mereka adalah warga-warga pinggiran kota, yang katanya sangat rentan dengan berbagai penyakit.
Bau amis anak sungai musi, lantaran tercemar limbah manusia seakan menjadi obat. Tumpukan sampah yang menghasilkan lalat dan belatung, yang terkadang petugas lupa mengambil tumpukan tersebut, hampir tidak menjadi penghambat warung-warung pempek pinggir jalan berjualan dan menerima pembeli.
Jika kita fikirkan ulang Kembali, hidupan dan Kesehatan benar-benar karunia dari Tuhan. Covid-19 seakan memilih mereka yang kena adalah orang-orang yang memang di gariskan untuk mengidapnya. Mungkin Sebagian dari kita sudah terinfeksi, namun karena rasa Bahagia semangat yang menumpuk di dada, infeksi tersebut tidak berpengaruh pada Kesehatan. Semua penuh dengan karunia, dan kita menjalani kehidupan dalam karunia dan kebesaran Tuhan.
Mari kita tetap berharap, hidup yang kita jalani akan lebih berarti. Tetap Tangguh dan berdoa dalam keyakinan, bahwa setiap tindakan dan perbuatan baik akan menjadi pahala yang membawa ketenangan jiwa dan kebahagiaan. Wallahu’alam.